Banyak orang tua yang mengidentifikasi ciri anak pintar lewat nilai akademik. Tak hanya itu saja, selama ini masih banyak orang yang menyatakan bahwa memiliki skor nilai IQ (Intelligence Quotient) tinggi merupakan salah satu ciri anak pintar. Apalagi tes IQ sering sekali digunakan di berbagai tes dan hasilnya di simpulkan dalam bentuk angka.
Misalnya saja saat si kecil mulai masuk sekolah, biasanya ia akan melewati tes IQ sebagai salah satu persyaratan. Bila skor IQ si kecil cukup tinggi dan di atas rata-rata, Ibu boleh saja berbangga hati. Namun bagaimana bila skor IQ si kecil hanya sebatas rata-rata saja bahkan rendah? Janganlah dulu berkecil hati ya Bu, apalagi sampai mengucilkan si kecil.
Perlu Ibu ketahui bahwa tes IQ bukanlah tolak ukur kepintaran seseorang, karena pada kenyataannya tes tersebut tidak cukup akurat memprediksi kecerdasan secara keseluruhan, karena sebenarnya kecerdasan terbagi atas banyak hal yang tidak terbatas.
Tes IQ pertama kali diperkenalkan oleh seorang psikolog berkebangsaan Prancis, yakni Alfred Binet, pada tahun sekitar 1911. IQ merupakan satuan nilai untuk mengukur tingkat kecerdasan seseorang. Kecerdasan yang dimaksud disini adalah kemampuan berpikir dan mengolah informasi yang disediakan oleh lingkungan sekitar kita. Awalnya, tes IQ dilakukan dengan tujuan untuk seleksi standar masuk militer atau pekerjaan, hingga akhirnya tes ini berkembang keseluruh dunia sebagai tes seleksi standar dalam hampir semua bidang.
Memang pada awalnya tes IQ merupakan sesuatu hal yang penting. Namun semakin kesini, penggunaan tes IQ sebagai alat tolak ukur kepintaran sepertinya salah kaprah. Buktinya, telah banyak penelitian yang dilakukan akhir-akhir ini yang menunjukkan kalau kecerdasan seseorang tidak selalu dibarengi dengan nilai IQ yang tinggi.
Salah satunya seperti pada studi yang dilakukan oleh Dr. Adrian Owen, seorang peneliti senior Canada Excellence Research Chair in Cognitive Neuroscience and Imaging di university’s Brain and Mind Institute, yang menyatakan bahwa kepintaran yang dinilai hanya dari skor IQ adalah sebuah mitos. Hasil tes IQ tidak benar-benar menunjukkan kepintaran orang secara utuh dan menyeluruh.
Studi dari Kanada ini melibatkan 100 ribu relawan yang menjalani 12 tes kognitif secara online. Tes ini dilakukan dengan mengamati kemampuan mengingat, penalaran, konsentrasi, perencanaan. Hasilnya, tidak ada satu pun tes tunggal atau komponen tes yang dapat menilai secara baik dan akurat terhadap kecerdasan seseorang. Justru tes ini menunjukkan bahwa tiap relawan memiliki keunggulan tersendiri pada hasil penilaian terhadap tes mental dan kognitif.
Hal tersebut diperkuat oleh Adam Hampshire, PhD, seorang peneliti yang merupakan seorang psikolog dari Brain and Mind Institute Natural Sciences Centre di London, Ontario, Kanada, yang menyatakan bahwa ada banyak jenis kecerdasan yang dimiliki manusia. “Oleh karena itu, kini sudah saatnya untuk beralih menggunakan satu paket tes yang lebih komprehensif yang dapat mengukur skor terpisah untuk setiap jenis kecerdasan." jelasnya.
Terlebih lagi, studi ini juga menunjukkan bahwa sirkuit otak berbeda antara satu orang dengan yang lain dan berpengaruh pula pada dominasi kecerdasan yang dipunyai tiap orang. Peneliti menggunakan scan otak canggih yang disebut MRI fungsional untuk memetakan daerah-daerah tersebut. Hampshire mengatakan, "Potensi. Kita bisa mengukur kecerdasan yang lebih komprehensif dengan mengetahui keunggulan potensi berbeda yang dimiliki setiap orang sebagai cerminan kapasitas bagian yang berbeda dari otak.” Ungkapnya.
Sampai pada akhirnya, Howard Gardner, seorang profesor pendidikan yang mengabdikan dirinya di Universitas Harvard, Amerika Serikat bersama rekan-rekannya mengembangkan penelitian dan konsep Multiple Intelligences (MI) mendefinisikan kecerdasan manusia yang tak berbatas untuk mengetahui potensi unggul yang dimiliki setiap orang.
Hal ini dilakukan Howard Gardner, karena dirinya merasa sangat gelisah dikarenakan selama ini masih banyak para pendidik yang telah melakukan kekeliruan karena menganggap tes IQ adalah satu-satunya tolak ukur kecerdasan seseorang. Padahal kepintaran dan kecerdasan sesorang sesungguhnya tidak dapat di ukur, karena otak diciptakan untuk belajar dan menganalisa sehingga akan terus berkembang dan dinamis.
Dikembangkan dan dilansir pertama kali tahun 1983, Howard Gardner mendefinisikan kecerdasan yang dikelompokkan menjadi delapan kecerdasan, yaitu kecerdasan linguistik (bahasa), kecerdasan logika-matematika, kecerdasan visual-spasial, kecerdasan kinestetik (gerak tubuh), kecerdasan musikal, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, dan kecerdasan naturalis. Bahkan baru-baru ini, Howard Gardner kembali menemukan satu kecerdasan tambahan, yaitu kecerdasan spiritual.
Sungguh sangat berbeda dengan yang diuji dalam tes IQ, secara umum hanyalah dua jenis kecerdasan, yaitu kecerdasan linguistik/bahasa dan kecerdasan logika matematika. Melihat hal tersebut, maka tidak adil rasanya jika kecerdasan seseorang hanya di ukur dari skor tes IQ saja. Karena tes IQ sebenarnya hanya menguji sebagian kecil dari aspek kecerdasan manusia, padahal kecerdasan harus dinilai setelah mempertimbangkan berbagai macam faktor.
Setiap anak pada dasarnya adalah pintar dan cerdas. Namun kecerdasan apa yang paling menonjol dari setiap anak berbeda-beda. Oleh karena itu, sudah saatnya orang tua mengetahui pemahaman baru Multiple Intelligences yang lebih menekankan pada aspek pengamatan potensi unggul si kecil dan bukan hanya pada aspek pengukuran seperti tes IQ.
Multiple Intelligences akan membantu Ibu dalam mengetahui dan mengenal potensi keunggulan anak dan membantunya untuk mengembangkan dengan memberikan stimulasi yang tepat, sehingga potensi tersebut menjadi yang terbaik di bidangnya.