Sort by
Sort by

Para Ibu Tangguh di Rantai Pasok Susu

Women Empowerment

Cerita Ibu Yuni, Ibu Ida dan Ibu Imelda, para Ibu tangguh dibalik rantai pasok susu

Ibu Yuni

Memiliki suami seorang blantik (makelar hewan) sapi dengan penghasilan yang tidak menentu membuat Yuni Purwati tergerak. Meski tak mengerti apa pun soal sapi, ibu satu anak ini bertekad untuk bisa mencari tambahan penghasilan dari sapi-sapi yang dijual suaminya.

Di awal pernikahan, yakni pada 2004, Yuni belajar mengenal semua hal tentang sapi dari suaminya. Ia kemudian memberanikan diri memerah susu dan menyetor ke penampungan susu koperasi binaan PT Nestlé Indonesia yang ada di desanya, Desa Ngantru, Kecamatan Ngantang, Kabupaten Malang, Jawa Timur.

Tak disangka jerih payahnya membuahkan hasil. Bermodalkan sapi 2 ekor pada 2004, kini ia dan suami telah memiliki 20 ekor sapi. Yuni juga punya tanah seluas 1,5 hektar. Yang mengagumkannya lagi, semua itu hanya diurus berdua dengan suami!

“Alhamdulillah dari merah sapi ini bisa beli rumah, kendaraan, sapi sudah 20 ekor, lahan 1,5 hektar,” tutur Yuni, saat berbincang dengan kumparanMOM.

Namun tentu saja, semua kesuksesan tak datang dengan tiba-tiba. Yuni mengaku banyak melewati ‘badai’ yang tidak mudah. Salah satunya waktu muncul wabah Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) pada 2022 silam. Semua sapi Yuni tertular PMK secara bergantian. Kala itu, ia dan suami sampai tidur di kandang untuk menjaga sapi-sapi mereka karena harus fokus pada pengobatan dari pagi hingga malam.

“Suami saya hampir down, tapi saya men-support. Suami saya itu selalu mengeluhkan capek mengobati kuku. Jumlah satu ekor 4 (kaki), kalau dikali 20 sapi kan sudah berapa itu?” tutur perempuan yang kini berusia 40 tahun tersebut.

Selain melelahkan secara fisik dan mental, penghasilan mereka juga merosot drastis. Sebab sapi yang terkena PMK tak doyan makan sehingga tidak mengeluarkan susu. Sapi-sapi itu juga harus minum antibiotik sehingga susunya pun tidak layak untuk dijual.

Kondisi itu, kata Yuni, berlangsung hingga 3 bulan di kandang. Namun efek jangka panjangnya masih muncul hingga saat ini. Mulai dari sapi banyak yang keguguran, hingga inseminasi yang kerap gagal hingga menyebabkan produktivitas menurun.

Yuni mengaku, kala itu ia dan suami banyak terbantu dari tim Milk Procurement and Dairy Development (MPDD) PT Nestlé Indonesia saat menghadapi wabah tersebut.

“Kami sangat di-support sama teman-teman MPDD. Mereka selalu ngasih obat buat peternak, vitamin, cara penanganannya, semuanya,” katanya.

Ibu sekaligus Pengatur Usaha Keluarga

Yuni berperan sentral di dalam keluarga maupun dalam usaha yang ia kelola bersama suami. Di tengah kesibukannya mengurus sapi, Yuni selalu menyempatkan diri memasak untuk keluarga, mengantar jemput anak sekolah, dan menemani putri semata wayangnya belajar pada malam hari. Sehingga hubungannya dengan anak sangat dekat.

Bahkan salah satu caranya untuk me-time adalah dengan makan bakso berdua dengan anaknya. “Pokoknya kalau lagi suntuk, ke mana aja lah sama anak, yang penting enggak di rumah,” ucapnya sambil terkekeh.

Di sisi lain, Yuni juga memegang peran penting dalam usaha sapi keluarga. Dialah yang mengatur agar sapi selalu bisa menghasilkan susu sehingga selalu ada pemasukan yang konsisten. Mengingat dalam peternakan sapi ada fase kering dan fase basah. Fase kering artinya sapi tidak mengeluarkan susu karena sedang tidak menyusui, dan fase basah adalah kondisi saat susu melimpah. Nah, Yuni mengantisipasi fase kering tersebut sehingga selalu ada fase basah pada peternakan keluarganya.

Ia juga mengatur tabungan, investasi, dan perputaran uang keluarga maupun usaha yang mereka geluti. Bagi perempuan lulusan SMK ini, menjadi perempuan harus berdaya.

“Kita tidak tahu rezeki, takdir bagaimana. Seandainya ada apa-apa, kita bisa kuat, bisa bekerja sendiri tanpa bergantung pada suami, terutama untuk anak,” tutup Yuni.

 

Menjadi Sosok ‘Ibu’ bagi Para Peternak, Pantang Menyerah Hadapi Tantangan

Ibu Ida

Salah satu tim MPDD yang disebut Yuni di atas adalah Ida Royani, yang kini menjabat sebagai Head of MPDD Nestlé Indonesia. Setiap harinya ia bertugas untuk membantu mengembangkan lebih dari 16.000 mitra peternak susu sapi Nestlé Indonesia.

Mulai dari aspek keberlangsungan usaha, peningkatan produktivitas dan kesejahteraan sapi, hingga upaya untuk mengubah praktik peternakan susu sapi menjadi lebih berkelanjutan. Selama 16 tahun Ida bergelut dalam bidang ini, ia mengalami berbagai macam tantangan.

Tapi hal itu tak membuat Ida menyerah. Ia mendatangi para peternak sapi dengan berbagai macam pendekatan, sesuai dengan karakter warga di daerah tersebut. Seringkali ia berperan sebagai sosok ‘Ibu’ bagi para peternak, mendengar curhatan para istri peternak, mulai dari hal-hal yang berkaitan dengan sapi hingga permasalahan rumah tangga. Apalagi kebanyakan para pengambil keputusan di kalangan peternak adalah ibu.

“Yang pegang uang bayaran ke peternak itu ibu-ibunya. Jadi mau ubah pola makan sapi, kalau istrinya enggak setuju, ya nggak akan terjadi. Mau bikin kandang kalau istrinya nggak mau, ya nggak jadi,” tutur Ida.

Salah satu keberhasilan dari pendekatan itu adalah, timnya berhasil menginisiasikan implementasi praktik peternakan closed house. Kandang sapi diberikan pendingin (cooling pad) dalam ruangan tertutup yang dipasangkan exhaust fan sehingga memberikan kenyamanan bagi sapi ternak.

Sapi yang dulunya berhadapan dengan cuaca yang tidak menentu, kini semakin terjaga di kandang yang nyaman, sehingga kesejahteraan sapi meningkat dan berdampak positif pada produktivitasnya.

Terbiasa menghadapi tantangan di pekerjaan membuat Ida lebih tangguh, termasuk saat menghadapi pandemi COVID-19. Padahal saat itu Ida baru memegang jabatan sebagai Head of MPDD. Baru mulai mereda persoalan COVID-19, muncul wabah PMK yang membuat kondisi peternakan dan rantai pasok semakin berat.

“Kita enggak bisa menolak, harus cari jalan. Karena bagaimana pun jumlah peternak itu puluhan ribu yang banyak jalan rezekinya dari situ. Kalau kita putus asa, siapa yang bisa membuat mereka bangkit?” kata Ida.

Bagi ibu 2 anak ini, menjadi manusia harus memberikan manfaat. Karena itulah ia pantang menyerah menghadapi para peternak, keliling ke berbagai daerah di Jawa Timur hingga ke pelosok-pelosok. Nilai itu juga yang ia tanamkan pada kedua anaknya sejak kecil hingga kini mereka duduk di bangku kuliah. Ia bahkan pernah mengajak anaknya ikut survei ke pelosok agar mereka paham apa yang dikerjakan ibunya.

“Saya bilang ke anak-anak, ‘Ibu ngurus umat’. Dan pada saat libur, saya ajak mereka ke desa-desa, saya tunjukin ‘Itu lho keluarganya bisa sekolah, punya rumah’,” tutur Ida.

Bahkan ada salah satu momen mobilnya selip saat mengajak anak-anaknya berkunjung ke desa dan melintasi hutan. Pengalaman itu mungkin tak menyenangkan bagi anak-anaknya, tapi membuat mereka jadi lebih paham bagaimana perjuangan ibunya untuk para peternak.

 

Nyaris Mundur saat 3 Bulan Dikarantina di Pabrik Vietnam karena COVID-19

Ibu Imelda

Pandemi COVID-19 memang jadi cobaan berat bagi semua kalangan, tak terkecuali bagi Imelda Mayasari (50). Apalagi saat itu Imelda baru mendapat promosi sebagai Factory Manager di pabrik Nestlé di Vietnam. Sebelumnya ia menjabat sebagai Corporate Manufacturing Excellence di Kantor Pusat Nestlé dan Production Manager di pabrik Nestlé di Kejayan, Jawa Timur.

Pandemi membuat Imelda harus terpisah dengan keluarganya selama 19 bulan. Sebab Vietnam menerapkan lockdown total, bahkan seluruh pekerja pabrik tidak boleh keluar selama 3 bulan. Ia tidur di tenda bersama 500 orang pekerja pabrik.

“Bisa dibayangkan hancur leburnya saat itu,” kata Imelda.

Sebagai leader, ia tak hanya memastikan pekerjaan berjalan dengan baik, namun juga menjaga mental seluruh pekerjanya. Di salah satu momen ia harus menenangkan pekerja yang saling bertengkar hebat karena stres. Di saat menantang seperti itu, ia menggunakan pendekatan seorang Ibu pada anaknya dalam memimpin.

Kondisi itu membuatnya teriris. Hampir setiap malam ia menangis melihat kondisi para pegawainya. Situasinya saat itu sangat sulit, semua orang telah lama terisolasi dari keluarga dan orang-orang tercintanya.

Puncaknya saat akhirnya penerbangan ke Vietnam dibuka, dan keluarganya datang untuk menemuinya. Saat itu suami dan anaknya harus dikarantina selama 21 hari. Namun setelah karantina selesai, ia masih belum bisa juga bertemu keluarga. Itulah momen di mana ia hampir menyerah. Bukan karena merasa tidak mampu menghadapi situasi tersebut, tapi karena kasihan dengan keluarganya yang membuat mereka kesulitan berkumpul.

Tapi sang suami justru melarangnya dan meminta Imelda untuk menyelesaikan tugas hingga selesai. “Kata suami saya, ‘Kamu tidak bisa meninggalkan anak buah dalam kondisi yang panik seperti itu. Kamu harus selesaikan. Jangan khawatir, anak-anak sama saya’. Itu yang membuat saya semangat lagi,” tuturnya.

Tak Cuma COVID-19, dalam pengalaman 25 tahun ia berkarier di Nestlé, ada peristiwa lain yang juga sangat berat baginya. Yakni pada 2017 saat ia menjabat sebagai Plant Manager di Pabrik Nestlé di Kejayan, Pasuruan, mesin di pabrik rusak. Padahal itu adalah pabrik terbesar Nestlé sehingga sangat mengganggu pasokan nasional. Saat itu ia harus tidur di pabrik selama 2 hari, padahal itu adalah momen Hari Raya Idul Fitri.

“Jadi saya mendengarkan takbir dari pabrik dengan seragam, dan saya tidur di ruang meeting. Itu saya nggak bisa jelaskan ke keluarga besar. Itu CEO langsung telepon, Factory Manager pada waktu itu sedang liburan, langsung terbang ke pabrik,” tutur perempuan lulusan Teknik Mesin Universitas Brawijaya, Malang, ini.

Setelah 4 hari, krisis tersebut dapat diatasi dan ia bisa berkumpul dengan keluarga.

Sempat Merasa Gagal saat Anak Down

Imelda merasa diberkahi dengan kehidupan yang baik. Ia dan suami memiliki karier yang sukses, finansial aman, dan anak-anak yang sehat. Namun ada satu momen yang ia sebut sebagai krisis besar, yakni saat anak pertamanya down karena gagal masuk fakultas kedokteran.

“Anak ini betul-betul down se-down down-nya, tidak keluar kamar sampai berhari-hari, tidak mau ketemu temannya. Itu saya dan suami merasa sangat bersalah banget dengan anak saya,” katanya.

Singkat cerita, ia akhirnya membawa putrinya ke Jakarta, tinggal bersama dengannya yang saat itu sedang bertugas di Jakarta. Imelda lebih banyak berbincang mendalam dengan putri sulungnya itu, hingga akhirnya bisa kembali menemukan kebahagiaan meski tak jadi mahasiswa kedokteran.

Pentingnya Dukungan Perusahaan untuk Perempuan

Imelda mengaku, bisa bekerja di Nestlé hingga puluhan tahun karena perusahaan memiliki nilai yang sama dengan yang ia yakini, yaitu respect. Sejak kecil, ibunya menanamkan nilai yang sama kepadanya, yang juga ia turunkan lagi pada anak-anaknya. Selain itu, perusahaan juga memberi kesempatan yang sama pada semua karyawan, meskipun ia seorang perempuan dan seorang ibu.

Di sisi lain, hak-hak perempuan juga diakomodir. Seperti pemberian cuti melahirkan (maternity leave) selama 6 bulan bagi ibu dan paternity leave 1 bulan bagi ayah. Tersedianya ruang menyusui di kantor dan di pabrik, support sharing group untuk setiap kalangan perempuan. Perempuan juga bisa mengambil cuti haid setiap bulan jika dibutuhkan.

Itulah yang membuatnya suatu hari menolak saat mendapat tawaran pindah ke perusahaan lain. Sebab baginya, memilih pekerjaan bukan hanya dari gaji, namun juga lingkungan dan budaya kerjanya.

“Dari situ saya merasa sampai saat ini tuh Nestlé menurut saya yang saya masih cocok,” tutupnya.

 

Disadur dari: kumparanMOM